Wednesday, November 12

GARA-GARA R. A. KARTINI

Selasa, 12 November 2008
05.17
*Dedicated to Beta, Qonita, and Iriel. Thanks for a wonderful chat at Sushi time*

LOGIKA dengan antusias menceritakan kisah cinta temannya yang sudah pacaran 10 tahun ternyata menikah hanya untuk 3 minggu.

REALITA membalas, bahwa dia juga punya teman yang menikah dengan sahabatnya sendiri yang telah dikenal bertahun-tahun tapi hanya sanggup bertahan dalam "bahtera" itu dalam hitungan bulan, tuh.

KEINGINAN tak kalah seru, ia sempat iri dengan kehidupan temannya yang terus terlihat bahagia karena memiliki segala yang diimpikan hampir semua wanita: perkawinan dengan suami ganteng dan mapan, anak yang lucu-lucu, belum lagi ukuran badan dan penampilan sang teman yang bahkan masih bisa mengalahkan pasaran perempuan-perempuan lajang ibukota. Tapi rasa iri itu berubah jadi sebuah diam, saat dia mendengarkan pengakuan sang teman yang terus berdandan hanya untuk menutupi ketidakbahagiaan dalam perkawinan. Bahwa sang teman pada akhirnya menyerah dengan semuanya dan....bercerai.

KATA HATI dan INSTING hanya mendengarkan dengan mata mengerjap-ngerjap sembari menyeruput minuman panas milik masing-masing dalam obrolan lebih panas di tengah Jakarta yang sangat panas.

REALITA:
Gue nggak ngerti. kenapa ribet banget sih kayaknya "marriage life" hari gini? Percuma pacaran lama tapi nggak jaminan. Kenal lama sebelumnya juga nggak ngasih jawaban. Apalagi ama yang baru kenal 1 bulan? Sepertinya itu bunuh diri pelan-pelan. Kok ngga kayak jaman emak-emak kita dulu ya?

LOGIKA:
Iya. Ngga tau, ya. Apa karena dulu tujuan akhir dari setiap perempuan memang cuma ampe jadi istri dan punya anak aja ya? Karena itu urusan bibit bebet bobot juga jadi penentu paling dahsyat. Namanya juga tujuan akhir. Coba tanya emak-emak kita. Mereka udah sangat bersyukur ngeliat kita anak-anak mereka selesai sekolah, dapet kerjaan, dan berharap-cenderung panik- kita buruan nikah untuk nanti bisa kasih cucu ke mereka. Se-simple itu. Itu keinginan terakhir mereka. Ngeliat cucu. Jadi ya, mereka punya kecenderungan untuk mengabdi kemanapun suami-suami mereka a.k.a bokap-bokap kita ngebawa mereka dalam hidup ini. Dan itu ngebuat emak-emak kita pun sanggup bertahan dalam kondisi apapun demi keutuhan keluarga. Kan tujuan akhir? Mau ngapain lagi? Ditambah lagi, perceraian dalam budaya masa-masa itu aib yang nggak akan bisa diterima oleh keluarga.

KATA HATI pun menambahkan:
Iya ya. Sementara perempuan-perempuan sekarang? Menikah bukan tujuan akhir, ya? Menikah itu salah satu event dalam hidup lu. Apalagi pereu-pereu kayak lu, kayak kita, kali? Lu pasti punya tujuan hidup independent buat diri lu sendiri mau ngapain di dunia ini, kan? Karenanya, mungkin itu yang bikin jadi lebih susah untuk nemuin orang yang tepat searah ama tujuan lu itu. Belum lagi urusan speed-nya lah, power-nya lah, endurance-nya lah kalo mau sejajar di track yang sama. Ya nggak? Sekarang lu aja bisa berantem untuk urusan pengen punya rumah di tengah ato mending di pinggir kota Jakarta? Ato urusan anak harusnya sekolah dimana? Apalagi ikutan mengabdi ama suami lu di pedalaman Papua? Buntut-buntutnya dalam itungan bulan baru deh ngerasa "beda prinsip".

REALITA:
Lagian kan hari begini cerai udah biasa, ya? Nggak malu-maluin amat. MBA aja udah bukan aib, kok...

INSTING akhirnya ikut bicara:
Mungkin, apa karena itu ya? Kok kalo gue perhatiin, temen-temen kita yang hidupnya lebih "lurus" dan nggak neko-neko punya tujuan hidup independent yang aneh-aneh segala, jadi lebih mudah dapat pasangan, ya?

KEINGINAN:
Ato intinya karena mereka nggak lebih cerewet aja kayak lu, kayak kita kali? Ato gue doang?

LOGIKA:
KATA HATI, tumben lu tau arah omongan gw? Jadi intinya sih, gue cuma mau bilang kalo kayaknya ini semua salahnya R. A. Kartini. Dia yang bikin kita perempuan-perempuan di jaman ini jadi lebih susah cari calon suami. Semacam mengajak-ajak makan Apple of Knowledge. Dan kita 'kemakan'.

Huahauahuahuaa. Lima sahabat itu tergelak di tengah salah satu dari sekian banyak obrolan makan malam yang menyenangkan. Mereka selalu bersama meskipun saling berbeda. LOGIKA si supel yang memang paling bisa mencari-cari yang bisa disalahkan dalam segala situasi dengan cara bercanda sarkastis-nya. KEINGINAN yang ukuran tubuhnya paling besar, paling sukar ditebak karena seleranya suka berubah-ubah. INSTING yang cukup ringkih kadang suka kasih peringatan meskipun kadang juga suka gampang terpengaruh KEINGINAN. Kalo udah begini, KATA HATI yang selalu netral akan berusaha menengahi. Sayangnya ia susah ditemui. Sementara REALITA si gaul yang tak pernah ketinggalan di setiap kesempatan, suka sekali mengaburkan semuanya kembali.

Mungkin itulah yang membuat mereka sanggup bertahan untuk bersahabat cukup lama.

PERAWAN TUA

Rabu, 12 November 2008
03.30
*Dedicated to my lovely friend, Beta and all my “old virgin” friends in Jakarta. Hihi ;p*

Lima matahari sedang menyengat kota Surabaya siang itu. Serasa menghabiskan wiken di Afrika dengan kesibukan ala New York. Temanku, sebut saja namanya Bunga (Red: bukan nama sebenarnya, tapi konon nasibnya selalu nyaris jatuh seperti nasib Bunga-Bunga lain dalam tayangan Reka Ulang di TV) harus meninggalkan Jakarta demi bekerja di sana di sebuah akhir minggu.

Badan pegal-pegal pun mulai mengirimkan sinyal untuk membuat Bunga harus mencari pertolongan tukang pijet. Setelah tanya sana tanya sini, seorang rekan kerja dari tim kerja lain yang cukup terpercaya dan konon mengenal Surabaya cukup baik pun dengan yakin dan mantabhhh merekomendasikan seorang tukang pijet bernama….*Tatataaaaaaaaa!!!! Harus pake efek ini, Cinkkk*….Mas Toyib!!!

Ada yang aneh…It’s supposed to be Bang Toyib…dan itu bukannya tidak terpisahkan? Tidak boleh menggunakan kata sapaan lain. Nggak klop. Well, nggak penting juga. Keanehan nama itu tidak cukup mengganggu untuk keinginan pijat yang menggelora.

Hingga terdengarlah ketukan di pintu kamar hotel tempat Bunga dan rekan sekerjanya dari Jakarta menginap. Teman sekamar yang membukakan pintu terkaget-kaget. Karena tubuh kekar ala Ade Ray berbalut kaos pas badan berdiri sopan di depan pintu. Tampang “ganteng jawa” dengan kulit sawo matang itu melempar tersenyum tipis. Siapa yang pesen gigolo?

Toyib : Siang…mbak yang mau pijet?
Bunga : Eh oh..eh…Mas Toyib, ya?
Toyib : Iya…mau pijet kan, Mbak?
Bunga : Ah..Eh..Umm…Iya...

Teman sekamar Bunga cuma bisa bengong. Bunga dengan gaya kikuk dan ribetnya menyongsong ke pintu. Ketemu satpam ganteng aja dia bisa hampir lemes dan ngomong beribet, apalagi tukang pijet seganteng ini yang akan menyentuh seluruh syaraf kaki dan punggung dan kepalanya? Ow ow ow…kayaknya ga jadi pijet punggung dan kepala deh. Daripada terjadi hal-hal yang diinginkan? (Baca:diidam-idamkan). Keanehan untuk ukuran figur tukang pijet ini pun sudah tidak sanggup menahan gejolak keinginan untuk merasakan tekanan-tekanan di titik-titik syaraf yang begitu lelah. Meskipun dengan figur begini, urusan pijet jadi “kentang” alias kena tanggung, karena-tidak memungkinkan-untuk pijet seluruh badan.

Sesi pijet dimulai. Silahkan bayangkan apa yang terkesan, seandainya mendengar percakapan Tukang Pijat-TP dan korban (ato Klien Pijet-KP dan korban?) dari balik pintu bilik kecil itu. *Hweeee, bilik???? Biar lebih terasa seperti narasi adegan Reka Ulang aja, sih. Hehe*

TP : Sampe atas, Mbak?
KP : Ummhhh…bawah aja.
TP : Balik badan ya Mbak, sekarang dari belakang.
KP : Oh eh...depan aja ah, Mas.

Bunga terlalu panik untuk membiarkan jemari besar-besar itu melewati punggung dan pundaknya dari belakang tanpa dia bisa mengendalikan pergerakan ataupun menyelidiki ekspresi Mas Toyib. Tapi akhirnya Bunga tetap harus balik badan untuk bisa dipijet betisnya. Daripada tetap berhadapan tapi maksain pijet betis? Pasti harus dengan posisi lain yang jauh lebih spektakuler. Haha.

Sesi pijet dilanjutkan. Obrolan lain mulai mengalir. Seiring dengan mengalirnya peredaran darah di sepanjang kaki yang melegakan. Tapi kok malah menimbulkan… pegal pikiran!!!???

Mas Toyib : Mbak, aku tuh lagi kumpulin duit buat kawinin pacar aku di kampung…
Bunga : Ohya? Bagus dong…
Mas Toyib : Iya, tapi susah.
Bunga : Iya sih ekonomi memang lagi susah, tapi usaha terus aja. Pasti ada jalannya.
Mas Toyib : Bukan susah itu, Mbak. Pacar aku nya yang susah. Kasihan, dia nggak bisa kawin sama aku sebelum kakak
perempuannya kawin.
Bunga : Owh…emang kakak pacarnya Mas udah umur berapa?
Mas Toyib : 23 taun, Mbak.
Bunga : *Glek* Pacar Mas?
Mas Toyib : Udah 16 taun, Mbak.
*Dengan nada penyesalan seolah-olah itu adalah 36 tahun *
Kesian juga sih sama kakaknya itu. Kalo udah perawan tua begitu, udah bakal susah banget dapat suami.
*Dengan nada prihatin seolah-olah itu adalah 43 tahun*
Dan aku juga jadi nggak bisa-bisa kawinin pacar aku.
Bunga : *Glek glek*

Bunga refleks berbalik dari posisi tengkurapnya untuk melihat wajah Bang eh Mas Toyib. Ada raut kesungguhan di sana. Tapi kata PERAWAN TUA untuk usia 23 tahun terdengar begitu menyengat dengan pancaran sinar 10 matahari. Apakah ini masih di Surabaya? Pulau Jawa? Indonesia? Planet Bumi? *Glek glek glek*

Perempuan usia 30 tahun di Jakarta dengan karir cemerlang sekalipun seperti Bunga, tapi nggak punya pacar apalagi belum menikah pasti membuat miris orang-orang kampung halaman Mas Toyib. Dan segelintir perempuan seperti itu di kampung halamannya bahkan mungkin ada yang sudah di hukum rajam karena dikira dukun guna-guna pemakan melati yang menikah dengan mahluk alam lain jadi tidak boleh bersuamikan manusia. Atau bahkan diduga akan melakukan kejahatan mutilasi karenanya harus dibasmi sebelum benar-benar terjadi?

Owhhh, pijet yang benar-benar "kentang". Kali ini, kena tangparrrrr.

So, can we blame Syekh Pudji? Gadis 12 taun yg dikawini-nya itu pasti membuat sirik para perempuan satu kampung yang baru belajar pake miniset itu…. krn dia sangattttt beruntung. Wait, miniset??? Masih eksis ga sih? Ahhh, aku (perawan?) tuaaaaaa….jerit Bunga dalam hati.